Konferensi Perubahan Iklim di Paris menjadi ujian nyata untuk komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama bagi negara-nega...
Konferensi Perubahan Iklim di Paris menjadi ujian nyata untuk
komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama bagi
negara-negara industri maju yang seringkali mangkir dari komitmen ini.
Predikat sebagai negara penghasil emisi GRK terbesar saat ini dipegang
oleh China dan Amerika Serikat (AS).
Namun, saat ini China menyusul AS sebagai penghasil emisi terbesar
dengan proporsi emisi global sebanyak 24 persen per tahun, sedangkan AS
menghasilkan proporsi global sebesar 21 persen (Moran, 2010).
Dalam beberapa kebijakan politik internasional, China dan AS
seringkali bersinggungan, namun menjelang perhelatan Konferensi
Perubahan Iklim di Paris, China dan AS tampak mesra menjalin koalisi
untuk membentuk citra positif akan tanggung jawabnya sebagai penghasil
emisi terbesar di dunia. Pada tahun 2009, China dan AS melakukan
kerjasama bilateral untuk perumusan ekonomi rendah karbon dan penggunaan
energi ramah lingkungan.
Kemudian kerjasama terus berlangsung hingga tahun ini, Presiden Xi
Jinping dan Presiden Barack Obama melakukan beberapa pertemuan dan
menghasilkan Pengumuman Bersama AS-China untuk Perubahan Iklim dengan
komitmen untuk mengurangi emisi GRK.
Dalam pernyataan bersama, China akan meluncurkan sistem perdagangan
karbon pada tahun 2017 dan mengalokasikan 3,1 milyar dolar sebagai dana
untuk keuangan perubahan iklim (WRI, 2015). Selain itu, pemerintahan
Obama menegaskan pengurangan emisi GRK sebesar 26-28 persen hingga 2025.
Sedangkan pemerintah Xi menyatakan akan meningkatkan penggunaan energi
non fosil sebesar 20 persen pada 2030.
Apabila kedua negara ini tampak akomodatif terhadap tuntutan
pengurangan emisi cukup menjadi tanda tanya mengingat kedua negara ini
memiliki sejarah sebagai ‘garis keras’ dalam berbagai KTT perubahan
iklim karena minim komitmen untuk mengurangi GRK.
Strategi China dan AS
Dalam diplomasi terkait perubahan iklim, China cukup keras
memperjuangkan kepentingan nasionalnya. China lebih akomodatif dalam
skema bantuan dan teknologi dalam perundingan perubahan iklim. Selain
itu, China memposisikan dirinya sebagai negara berkembang yang tidak
memiliki kewajiban yang sama dengan negara maju untuk mengurangi emisi
dengan penolakan terhadap skema Perdagangan Karbon dan Implementasi
Bersama.
Agar kepentingannya aman, China memimpin dalam forum negara-negara
berkembang melalui G77. Melalui G77, China menolak Implementasi Bersama
sebagaimana tertuang dalam Protokol Kyoto dengan argumen bahwa
Implementasi Bersama sebagai upaya Negara-negara maju terhindar dari
kewajiban untuk mengurangi emisi GRK (Murdiyarso,2003).
Selain itu, G77 menjadi alat bagi China untuk memperkuat pengaruh dan
dukungan dari negara-negara berkembang untuk menuntut negara-negara
maju memimpin inisiatif pengurangan GRK. Atas dasar prinsip “Sama, Namun
Tanggung Jawab Berbeda” menambah amunisi China dengan posisi China
sebagai negara berkembang yang menghadapi angka kemiskinan yang tinggi.
Ketika kepemimpinan Hu Jintao, China lebih lunak untuk mengurangi 15
persen emisi GRK dimulai tahun 2005 hingga 2020. Hal tersebut ditegaskan
Hu Jintao dalam KTT Perubahan Iklim di New York tahun 2009. Warisan
kebijakan Hu diikuti oleh Xi dengan perumusan kebijakan pengurangan
penggunaan batu bara, meningkatkan penggunaan energi non fosil dan
penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan hidup.
Tahun 2013, pemerintah China meluncurkan Strategi Nasional Adaptasi
Perubahan Iklim sebagai panduan dan prinsip untuk mengurangi emisi GRK
sebesar 15 hingga 20 persen.
Sementara itu, pada tahun 2001, Amerika Serikat menolak ratifikasi
Protokol Kyoto. Pemerintahan George W. Bush didukung pengaruh kuat dari
sektor industri minyak yang melakukan penolakan terhadap implementasi
Protokol Kyoto.
Bush menegaskan keengganannya karena 80 persen penduduk dunia
terbebas dari tanggung jawab untuk mengurangi emisi GRK; implementasi
Protokol Kyoto tidak adil karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi AS
dengan kewajiban mengganti energi fosil; dan pemerintah AS menganggap
perubahan iklim hanya mitos karena dianggap tidak ilmiah.
Kebijakan domestik AS terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh
partai politik yang berkuasa. Partai Republik memiliki sejarah sebagai
platform politik keras yang kurang akomodatif terhadap konsensus
internasional karena paham realis AS yang menganggap kepentingan
nasionalnya yang lebih utama.
Saat ini, AS lebih akomodatif di bawah kepemimpinan Barack Obama dari
partai Demokrat. Pada penyerahan Kontribusi Nasional yang Diniatkan
(INDC), AS menegaskan upaya mengurangi emisi sebesar 26-28 persen hingga
2025. Pemerintahan Obama tengah menyusun proposal untuk standar
efisiensi bahan bakar untuk tahun 2016 sebagai upaya untuk menghemat 3
juta metric ton karbondioksida.
Kerjasama China dan AS
China dan AS menyadari akan sorotan internasional,
maka kedua negara sepakat untuk membentuk citra sebagai negara yang
berkomitmen untuk pengurangan emisi GRK. China memiliki posisi yang unik
di tengah perdebatan mengenai posisinya sebagai negara berkembang atau
negara maju.
Namun, dalam rezim perubahan iklim, China disoroti karena penghasil
emisi GRK terbesar maka berkewajiban untuk mengurangi emisi GRK secara
signifikan. China seakan bermain di dua kaki, kaki pertama didaratkan
untuk memimpin negara-negara berkembang dari tuntutan pengurangan emisi
dalam jumlah besar. Selain itu, China membangun koalisi bersama AS untuk
memperjuangkan agar kepentingan nasional terlindungi sehingga tidak
perlu berkorban terlalu besar untuk kontribusi pengurangan emisi.
Begitu pula AS, koalisi ini seakan menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa AS memiliki kontribusi untuk mengurangi dampak
perubahan iklim. Koalisi ini kuat untuk menangkis tuntutan pengurangan
emisi GRK dalam jumlah besar dengan dalih komitmen pengurangan emisi
nasional, ikut serta memberikan pendanaan iklim, dan transfer teknologi
ramah lingkungan.
Komitmen koalisi China dan AS masih setengah hati mengingat target
emisi yang akan dikurangi di bawah 30 persen. Kedua negara selayaknya
memimpin upaya mengurangi dampak perubahan iklim dengan mengurangi
penggunaan energi fosil, memimpin tindakan penggunaan energi alternatif
yang ramah lingkungan dan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun, tampaknya hal ini masih sangat sulit mengingat kedua negara
ini masih ‘sibuk’ memperbesar pengaruh politiknya untuk menguasai sumber
minyak (energi fosil) di Timur Tengah bagi AS dan Afrika bagi China.
Mungkinkah koalisi ini sebagai upaya politik pencitraan? Dari hasil
konferensi di Paris kita akan tahu jawabannya.
*Ica Wulansari, penulis adalah Pengamat Kebijakan Perubahan Iklim dan Pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta