PortalHijau.com - Wacana mengenai pertanian organik sudah ada sejak puluhan tahun silam. Belakangan ini, wacana ini kembali mencuat ke ...
PortalHijau.com - Wacana mengenai pertanian organik sudah ada sejak
puluhan tahun silam. Belakangan ini, wacana ini kembali mencuat ke
permukaan. Seperti dalam diskusi di wantilan Pura Penataran Sasih,
Pejeng, Selasa 27 Oktober 2015 serangkaian pameran Biodiverseni,
pertanian organik ini menjadi topik hangat. Diskusi semakin menarik
karena menghadirkan nara sumber yang sudah puluhan tahun terjun dan
sukses mengembangkan pertanian organik. Dia adalah Nissa Wargadipura,
aktivis lingkungan asal Garut Jawa Barat.
Nissa banyak berbagi cerita seputar pengalamannya menekuni pertanian
yang ramah lingkungan ini. Pada kesempatan itu dia mengenalkan konsep
agroekologi berbasis tanaman lokal. Konsep ini menekankan pentingnya
memperhatikan factor lingkungan dalam budidaya pertanian.
“Untuk mengembangkan pertanian organik ini butuh kesabaran serta dilandasi rasa cinta bertani terlebih dulu,” ujarnya.
Menurutnya, tanah itu hidup. Ada banyak kehidupan (mikrorganisme) di
dalam tanah. Jadi sangat sayang kalau diracuni dengan pestisida. Untuk
menjaga kondisi tanah tetap sehat, bisa menggunakan pupuk organik dari
kompos. Selain itu, dengan menanam tanaman leguminosa (kacang-kacangan)
yang akar hingga daunnya dapat menyuburkan lahan karena mampu mengikat
nitrogen. Dikatakan pula, tumbuh-tumbuhan di sekitar kita perlu mendapat
sentuhan serta perhatian. Salah satunya dengan menjaga kondisi tanahnya
agar tetap subur.
Lebih jauh dikatakan, kondisi alam di Garut dan di Pejeng
sesungguhnya tidak jauh berbeda. Tanaman yang tumbuh bagus di Garut juga
banyak ditemukan di Pejeng. “Di Kebun Setaman Pejeng (KSP) banyak
sekali saya lihat tanaman yang bisa dibudidayakan sebagai tanaman obat
serta bernilai ekonomis,” ungkap pendiri Pesantren Ath Thaariq ini.
Nisa mengajak para peserta diskusi belajar bagaimana mengolah
pertanian ataupun perkebunan dengan mengembangkan benih lokal. Selain
itu, bagaimana membuat pupuk kompos sendiri yang terbuat dari bahan
organik dan limbah ternak yang ada di lingkungan sekitarnya.
Pada kesempatan itu, Nissa juga berbagi pengalaman mengolah lahan
seluas hampir 8000 meter persegi bersama anak-anak di pesantrennya.
Lahan seluas itu dibagi menjadi persawahan, kebun, peternakan dan
pembenihan. Sedikitnya ada 52 jenis tanaman yang tersebar di sekitar
lingkungan pesantrennya.
Berbekal semangat bertani, mereka bisa menghidupi sebanyak 30 orang
di dalam lingkungan pesantren. Menurut Nisa, banyak tanaman yang bisa
dimakan sebagai pengganti karbohidrat, tidak hanya beras, sorgum pun
bisa jadi alternatif beras. Saat panen tiba, hasilnya tidak langsung
dijual ke pasar tetapi disimpan untuk persediaan pangan di pesantren.
“Sisanya, baru kita jual,” imbuhnya.
Nissa berharap melalui konsep pertanian agroekologis berbasis tanaman
lokal ini, Pejeng juga bisa mengembangkan. Selain potensi alam Pejeng
cukup melimpah, minat anak-anak muda untuk terjun ke pertanian mulai
tumbuh. Nissa mencontohkan anggota Kelompok Petani Organik Panglan
(Ketan) yang semangat mengembangkan pertanian organik.
“Melihat potensi yang dimiliki Kebun Setaman Pejeng (KSP), saya yakin
Pejeng juga akan berhasil mengembangkan pertanian organik,” ujarnya. (Dewa Suamba)