PortalHijau.com - Kamis, 17 Desember 2015, waktu baru menunjukkan pukul 08.45 WIB, namun panas terasa menyengat. Siswa Sekolah Menengah ...
PortalHijau.com - Kamis, 17 Desember
2015, waktu baru menunjukkan pukul 08.45 WIB, namun panas terasa
menyengat. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Banda Aceh, Aceh,
terlihat tekun mengikuti pelajaran di kelas masing-masing. Hanya suara guru
yang terdengar menjelaskan pelajaran.
Namun, suasana
mendadak gaduh. Bumi berguncang, siswa yang berada di kelas berhamburan keluar
menyelamatkan diri. Ada juga yang tetap bertahan dengan berlindung di bawah
meja sambil menutupi kepala dengan tas, menghindari benturan benda yang jatuh.
Gempa mulai mereda,
para guru segera mengumpulkan para siswa di halaman sekolah. Berdasarkan hasil
pendataan, ada sejumlah siswa yang masih berada di kelas. Mereka terluka,
pingsan, dan ada yang trauma. Dengan sigap, anggota organisasi kesiswaan
seperti pramuka dan palang merah remaja melakukan evakuasi. Saat penanganan
siswa yang pingsan, terluka dan trauma dilakukan, sang kepala sekolah terus
mencari informasi tentang kekuatan gempa dan kemungkinan terjadinya tsunami.
Merujuk pada gempa dan tsunami
yang terjadi 26 Desember 2004 silam, yang menewaskan lebih dari 170 ribu
orang, tersisa waktu sekitar 30 menit untuk menyelamatkan diri dari tsunami
yang diistilahkan waktu emas atau golden
time. Jika
gempa berpotensi tsunami, sirine peringatan atau Tsunami Early Warning System(TEWS)
yang dipasang di sejumlah tempat akan dihidupkan. Peringatan pada masyarakat
agar menjauh dari bibir pantai.
Pusat Pengendali
Operasi (Pusdalop) yang terdiri dari sejumlah pimpinan daerah di Aceh termasuk
polisi dan TNI juga akan menginformasikan potensi terjadi tsunami kepada
masyarakat, serta membantu masyarakat menyelematkan diri.
“Rekan dari pusat
pengendali operasi (pusdalop) baru saja memberitahukan, gempa tersebut
berpotensi tsunami. Kita harus menyelamatkan diri ke Museum Tsunami Aceh, itu escape building terdekat. Kita lari dengan tidak
saling dorong ya,” ujar Wakil Kepala SMP 1 Banda Aceh Syarifah Nargis.
SMP 1 Banda Aceh
memang berada di sekitar lapangan Blang Padang, Kota Banda Aceh. Saat tsunami
2004 silam, sekolah ini porak-poranda. Sedangkan jarak sekolah dengan Museum
Tsunami yang juga berfungsi sebagai gedung evakuasi yang didesain oleh Wali
Kota Bandung Ridwan Kamil, hanya sekitar 300 meter. Museum tersebut
mampu menampung lebih 2.000 orang.
Mendapat arahan
tersebut, sekitar 600 siswa dan puluhan guru bergegas menuju museum yang
dibangun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh – Nias itu. Tidak
sampai 10 menit, siswa telah tiba di lokasi dan langsung menuju lantai empat.
Di
lantai empat yang merupakan ruang terbuka, guru dan siswa menunggu informasi
tentang kepastian terjadi tsunami atau tidak. ” Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) memberitahukan, gempa tidak berpotensi tsunami. Kita bisa
turun,” ungkap Syarifah.
Kegiatan evakuasi
dari gempa dan tsunami yang digelar SMP 1 Banda Aceh tersebut merupakan
simulasi yang merupakan agenda tahunan. Sekolah ini merupakan Sekolah Siaga
Bencana.
Selalu siap
Syarifah Nargis
mengatakan, simulasi tsunami bertujuan mempersiapkan siswa untuk selalu siaga.
Khususnya bencana gempa dan potensi tsunami. Aceh merupakan darrah rawan gempa dan tsunami. “Setiap kegiatan di sekolah, kami sering menggunakan tema kebencanaan agar
siswa tidak panik tahu tempat kemana tempat berlindung.”
Cut Farah, salah
satu siswa mengatakan, meski dirinya tidak merasakan gempa dan tsunami yang
terjadi 2004 silam karena masih kecil, namun ia tetap takut mendengar kejadian
itu. “Dengan simulasi, saya paham bagaimana menyelamatkan diri dan tidak panik,”
ujarnya.
Faisal Ilyas,
konsultan pendidikan pengurangan risiko bencana di Aceh menyebutkan, hingga 11 tahun gempa dan tsunami berlalu, pengurangan risiko bencana di sekolah yang ada di Aceh masihlah minim. “Bahkan, banyak sekolah yang belum paham cara menghadapi gempa dan tsunami.
Padahal, Aceh daerah rawan.”
Faisal mengatakan,
Sekolah Siaga Bencana baru ada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Sementara, sekolah lainnya belum mengadopsi kegiatan pengurangan risiko
bencana. “Ini tergantung kepala sekolah, mereka mau tidak menjadikan sekolahnya
aman dari bencana,” papar Faisal. Mongabay