Ibu Menteri, bantu kami selamatkan Pulau Bangka seluas 3.319 hektar di Sulawesi Utara dari kehancuran oleh pertambangan ilegal PT Mik...
Ibu Menteri, bantu kami selamatkan
Pulau Bangka seluas 3.319 hektar di Sulawesi Utara dari kehancuran oleh
pertambangan ilegal PT Mikgro Metal Perdana.” Demikian bunyi pesan buat Susi
Pudjiasturi selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, yang tersebar lewat pesan
berantai dan sosial media sejak 31 Oktober 2014.
Pesan ini, mengajak masyarakat ikut
peduli Pulau Bangka yang terancam tambang dengan mengirimkan pesan kepada
Menteri Susi. “Putusan Mahkamah Agung 24/09-2013 telah menyatakan MMP harus
keluar dari Pulau Bangka, tapi sampai detik ini mereka tetap melakukan
pengrusakan. Tolong secepatnya bertindak.” Begitu permintaan kepada Menteri
Susi.
Warga menolak tambang masuk pulau mereka, meskipun ada
sebagian kecil menerima dan setuju menjual lahan. Dukungan penolakan tambang
karena khawatir pulau rusak datang dari berbagai kalangan, termasuk musisi
kawakan, Kaka Slank.
Penolak tambang pun mengajukan
gugatan dan menang sampai Mahkamah Agung. Perintah MA bupati mencabut izin itu.
Sayangnya, putusan MA ini bak tak bergigi. PTUN Manado bahkan sampai pasang
iklan di media massa agar Bupati Minahasa Utara patuh hukum. Tak cukup itu
saja, PTUN Madano, juga berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
pada Juni 2014, agar mendesak bupati, mematuhi putusan MA.
Entah kekuatan apa yang menghadang
sampai suara pengadilan diabaikan. Boro-boro izin dicabut. Bahkan, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan IUP operasi produksi kepada
MMP tertanggal 17 Juli 2014. Ia ditandatangani Jero Wacik, Menteri ESDM.
Warga Pulau Bangka tak tinggal diam.
Mereka kembali menggugat izin Kementerian ESDM ini ke pengadilan negeri
Jakarta, akhir Oktober 2014.
Sebelum itu, pertemuan-pertemuan
kementerian dan lembaga serta Komnas HAM sudah digagas UKP4. Hasilnya, UKP4 meminta tambang dihentikan sementara
sampai perizinan terpenuhi dan menghindari konflik.
Dari pertemuan-pertemuan itu
terungkap, perusahaan tambang ini belum ada izin pelepasan kawasan hutan dari
Kementerian Kehutanan dan zonasi kawasan laut di Sulut juga belum selesai.
Lagi-lagi di lapangan, perusahaan terus bekerja.
Untuk itu, Koalisi Penyelamatan Pulau
Bangka yang terdiri berbagai organisasi masyarakat dan pegiat lingkungan,
menyerukan Menteri KPP menyikapi serius masalah ini.
Maria Taramen, aktivis Tunas Hijau
dari Manado mengatakan, keinginan warga sederhana agar menteri bisa membantu
menyelamatkan laut dan karang di seputaran Pulau Bangka.
“Ibu pasti sangat paham, jika karang
rusak dan air laut menjadi keruh, tak ada lagi ikan di situ,” katanya kepada Mongabay,
lewat pesan elektronik, Jumat (31/10/14).
Dia mengatakan, hasil laut Pulau
Bangka, merupakan tumpuan hidup warga. “Kami hidup dan menghidupi anak-anak
serta mencoba meraih masa depan keturunan semua lewat laut. Sekarang ada
tambang, perlahan-lahan karang dan ikan mulai sulit. Laut kami ditimbun
bebatuan, pasir dan lain-lain untuk pembuatan dermaga perusahaan.”
“Karang-karang indah di pulau itu rusak. Air laut sekarang di sekitar
pulau keruh dan berlumpur.”
Dari pengalaman Susi 33 tahun di
sektor perikanan, katanya, mereka berharap membawa angin segar bagi
penyelamatan Pulau Bangka.
“Kami berharap Ibu Menteri yang
paham bagamana nasib dan hidup para nelayan, dan masyarakat pesisir dapat
membantu perjuangan kami mempertahankan hidup,” ujar dia.
Menurut Maria, kini masyarakat
bingung oleh beberapa kementerian terkait ‘terkait’ di Pulau Bangka. Misal,
Kementerian ESDM mengeluarkan izin operasi produksi kepada MMP tanpa koordinasi
dengan Kemenhut, KKP dan instansi terkait lain.
“Kami sangat berharap menteri sekarang
punya nyali, jika dibandingkan sebelum itu tidak sensitif dan tak aspiratif
dengan keinginan masyarakat.”
Mereka juga berharap, Presiden dan
Wakil Presiden tetap mengawasi ketat para menteri. “Jangan sampai kecolongan
seperti era SBY dulu, antara menteri terkait seenaknya mengeluarkan kebijakan
saling bertentangan satu dengan yang lain. Kontrol Presiden harus aktif dan
ketat.”
Selain itu, dia berharap, peninjauan
kembali UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang direvisi pada akhir
masa pemerintahan SBY. “Menurut kami revisi ini, justru membuka peluang
perampasan hak hidup kami di pulau. Juga cenderung penghancuran lingkungan di
Pulau-pulau kecil terbuka lebar.”
Longgena Ginting, kepada Greenpace
di Indonesia berharap, salah satu prioritas utama Susi adalah me-review kebijakan
dan memastikan tidak ada konflik dengan visi kemaritiman Jokowi. Termasuk
izin-izin tambang di pulau kecil atau pembuangan limbah (tailing) ke
laut. Sebab, katanya, kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir
tergantung kesehatan laut dan lingkungan.
Salah satu contoh masalah sedang
terjadi di Pulau Bangka, Sulut. Pulau kecil ini terancam tambang—yang bakal
merusak pulau dan laut sekitar. Alhasil, lingkungan darat dan laut rusak kala
tambang beroperasi. Nelayan-nelayanpun makin kesulitan. “Apalagi ada indikasi
pelanggaran hukum dan penolakan dari masyarakat lokal.”
Gugat Kementerian ESDM
Gugat Kementerian ESDM
Warga Pulau
Bangka didampingi YLBHI dan Walhi menggugat izin operasi produksi yang
dikeluarkan Kementerian ESDM, ke Pengadilan di Jakarta, beberapa hari lalu.
Sembilan warga
penggutan itu yakni, Sersia Balaati, warga Desa Lihunu, Likupang Timur Minahasa
Utara; Wilson Gaghenggang, petani di Desa Lihunu; Daniel Karel Buango, pelaut
Desa Lihunu, dan Dance Ujung, petani di Desa Lihunu. Juga Merti Mais Katulung, warga
Desa Kahuku Jaga I, Likupang Timur; Johanis Tuhema, pelaut, Desa Kahuku Jaga
II; Pinehas Lombonaung, pensiunan PNS, di Desa Kahuku; Absalon Sigandong,
petani di Desa Kahuku Jaga III, dan Eduard Gaghamu, petani Desa Libas Jaga II,
Likupang Timur.
“Mereka
menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kala itu Jero Wacik, yang
telah mengeluarkan IUP Operasi Produksi bernomor 3109 K/30/2014 tertanggal 17
Juli 2014,” kata Wahyu Nandang Heryawan dari YLBHI, beberapa hari lalu. (mongabay.com)