JAKARTA - Konflik penyusunan regulasi tata ruang Aceh dapat memperburuk hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Komunikasi yang ti...
JAKARTA - Konflik penyusunan regulasi tata ruang Aceh dapat memperburuk hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Komunikasi yang tidak konstruktif dan cenderung mempertahankan status quo sewaktu-waktu dapat menjadi bumerang bagi keduanya dan yang pastinya dapat mengganggu stabilitas pembangunan daerah.
Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) meneruskan advokasi masyarakat sipil Aceh terkait dengan proses penyusunan dan substansi tata ruang yang dianggap masih bermasalah, menjadi gambaran yang buruk dalam penyusunan sebuah regulasi yang vital setingkat RTRW sebagai blue print pembangunan kawasan dan daerah.
Pertemuan yang dilakukan dengan pihak Ditjen Bangda Kemendagri RI di Kalibata pada tanggal 26 Juni 2014 membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan kronologi proses evaluasi dan klarifikasi sebuah peraturan daerah dengan menggunakan dasar aturan Permendagri No. 28 tahun 2009, Permendagri No. 15 tahun 2008, PP 15 tahun 2010, Permendagri No. 1 tahun 2014.
“Merujuk kepada aturan yang ada tersebut maka Qanun No. 19 tahun 2013 tentang Tata Ruang Wilayah Aceh dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri RI,” ungkap Efendi Isma selaku juru bicara KPHA Jum’at (27/6/2014).
Substansi tata ruang wilayah Aceh masih melanggar beberapa aturan di atasnya, seperti UU 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, PP 26 tahun 2008 tentang tata ruang wilayah nasional, UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Selain aturan dan regulasi tersebut qanun tata ruang juga tidak mengakomodir masukan dari masyarakat terkait hutan adat Aceh sebagai wilayah kelola mukim sesuai dengan keputusan MK 35 tahun 2012.
Sementara itu proses klarifikasi dapat terus dilakukan dengan pilihan-pilihan antara lain; pertama Pemerintah Aceh memiliki justifikasi yang untuk tidak mengikuti hasil koreksi/evaluasi Mendagri melalui SK No. 650-441 tahun 2014, dan yang kedua Mendagri membatalkan Qanun tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bersama Kasubdit Penataan Ruang Wilayah di Jakarta.
“Pilihan membatalkan Qanun tersebut dapat terjadi dalam forum klarifikasi yang akan digelar oleh Kemendagri dalam bulan Juli mendatang dan kita akan lihat keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan setiap permasalahan regulasi daerah. Harapan untuk menjalankan system pemerintahan yang baik berdasarkan aturan menjadi catatan khusus bagi CSO untuk mengukur kinerja pemerintah,” tutup Efendi Isma. (005-R/the globe journal)
Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) meneruskan advokasi masyarakat sipil Aceh terkait dengan proses penyusunan dan substansi tata ruang yang dianggap masih bermasalah, menjadi gambaran yang buruk dalam penyusunan sebuah regulasi yang vital setingkat RTRW sebagai blue print pembangunan kawasan dan daerah.
Pertemuan yang dilakukan dengan pihak Ditjen Bangda Kemendagri RI di Kalibata pada tanggal 26 Juni 2014 membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan kronologi proses evaluasi dan klarifikasi sebuah peraturan daerah dengan menggunakan dasar aturan Permendagri No. 28 tahun 2009, Permendagri No. 15 tahun 2008, PP 15 tahun 2010, Permendagri No. 1 tahun 2014.
“Merujuk kepada aturan yang ada tersebut maka Qanun No. 19 tahun 2013 tentang Tata Ruang Wilayah Aceh dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri RI,” ungkap Efendi Isma selaku juru bicara KPHA Jum’at (27/6/2014).
Substansi tata ruang wilayah Aceh masih melanggar beberapa aturan di atasnya, seperti UU 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, PP 26 tahun 2008 tentang tata ruang wilayah nasional, UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Selain aturan dan regulasi tersebut qanun tata ruang juga tidak mengakomodir masukan dari masyarakat terkait hutan adat Aceh sebagai wilayah kelola mukim sesuai dengan keputusan MK 35 tahun 2012.
Sementara itu proses klarifikasi dapat terus dilakukan dengan pilihan-pilihan antara lain; pertama Pemerintah Aceh memiliki justifikasi yang untuk tidak mengikuti hasil koreksi/evaluasi Mendagri melalui SK No. 650-441 tahun 2014, dan yang kedua Mendagri membatalkan Qanun tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bersama Kasubdit Penataan Ruang Wilayah di Jakarta.
“Pilihan membatalkan Qanun tersebut dapat terjadi dalam forum klarifikasi yang akan digelar oleh Kemendagri dalam bulan Juli mendatang dan kita akan lihat keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan setiap permasalahan regulasi daerah. Harapan untuk menjalankan system pemerintahan yang baik berdasarkan aturan menjadi catatan khusus bagi CSO untuk mengukur kinerja pemerintah,” tutup Efendi Isma. (005-R/the globe journal)