HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Memburuknya Kualitas Lingkungan Indonesia

Oleh: Elvis Hotlen. Proses pembangunan tidak dengan sendirinya mengurangi kerentanan terhadap bahaya alam. Sebaliknya, tanpa  disadari pe...

Memburuknya Kualitas Lingkungan Indonesia
Oleh: Elvis Hotlen. Proses pembangunan tidak dengan sendirinya mengurangi kerentanan terhadap bahaya alam. Sebaliknya, tanpa  disadari pembangunan dapat menciptakan bentuk-bentuk kerentanan baru atau memperburuk kerentanan yang telah ada, menghambat upaya untuk memerangi kemiskinan dan mendorong pertumbuhan, seringkali dengan akibat-akibat yang tragis. Oleh karena itu, kita perlu aktif dan sungguh-sungguh mencari pemecahan yang sama-sama menguntungkan, yakni melaksanakan pembangunan berkelanjutan, mengurangi kemiskinan dan pada saat yang sama meningkatkan ketangguhan terhadap bahaya, terutama karena perubahan iklim cenderung meningkatkan kejadian kekeringan dan banjir serta intensitas badai.

Pemecahan terbaik biasanya dapat ditemukan  dengan memadukan strategi dan langkah-langkah pengurangan risiko bencana ke dalam keseluruhan kerangka pembangunan, dengan memandang pengurangan risiko bencana sebagai bagian terpadu dari proses pembangunan dan bukan sebagai tujuan itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa wilayah Indonesia menghadapi ancaman berbagai bencana yang disebabkan oleh alam dan ulah manusia.

Di lain pihak, wilayah Indonesia mengalami peningkatan kerentanan (vulnerability), baik secara fisik, sosial-ekonomi dan lingkungan, sehingga risiko bencananya meningkat. Pasca diundangkannya UU No 24 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana dan PP No 21, 22 dan 23 Tahun 2008, mengharuskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta masyarakat melakukan upaya reduksi risiko bencana melalui kegiatan mitigasi dan adaptasi ekologis terutama di daerah rawan bencana.

Manajemen bencana telah mengalami perubahan mendasar dari mengelola bencana menuju mengelola risiko bencana. Dalam konteks penataan ruang pun menurut UU No 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang, diperlukan integrasi dan revisi tata ruang berbasis ekosistem pulau dan mitigasi bencana bagi daerah rawan bencana, agar dicapai kondisi masyarakat yang tangguh menghadapi bencana yang pada akhirnya masyarakat dapat hidup aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Konsep Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dapat dipastikan gagal.

Gagal karena indikator sustainability tak tercapai, antara lain dicirikan semakin meningkatnya jumlah, frekwensi, dan meluasnya bencana di Indonesia. Bencana hidrologi/hidrometeorologi menduduki peringkat pertama di kawasan Asia-Pasifik dan di Indonesia mencapai 80% didominasi bencana hidrometeorologis (water-related disasters). Kegagalan konsep dan praktik pembangunan berkelanjutan juga dipicu meningkatnya eksploitasi sumber daya alam yang melebihi daya dukung lingkungannya (carrying capacity), sehingga menimbulkan degradasi lingkungan (environment degradation).

Meningkatnya kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada kategori superkritis bahkan di tahun 2014 sudah mencapai 60 DAS besar di Indonesia, yang sebagian besar di Pulau Jawa. Meningkatnya kejadian bencana banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran lahan/hutan merupakan indikator kerusakan lingkungan, dan makin tingginya pengaruh perubahan iklim (climate change) di Indonesia.

Degradasi Lingkungan
Artinya, degradasi lingkungan telah memicu meningkatnya risiko bencana. Antara kerusakan lingkungan dan bencana merupakan dua sisi mata uang yang saling terkait. Dalam rangka menyusun strategi mitigasi dan adaptasi bencana akibat perubahan iklim, maka sangat diperlukan manajemen lingkungan di DAS secara komprehensif melalui pendekatan sistem untuk mencapai manajemen risiko bencana berkelanjutan (sustainable disaster risk management). Kasus bencana di Indonesia yang terkait dengan air (water-related disasters), antara lain banjir di wilayah perkotaan, banjir bandang (flash flood), banjir di wilayah pesisir (coastal area), kekeringan, kebakaran lahan/hutan/perkebunan, kejadian tanah longsor di mana hujan ekstrem sebagai pemicu, amblasan tanah (land subsidence) dan angin puting beliung yang dipengaruhi badai tropis dan perubahan iklim.

Sumber daya air juga sangat terkait fenomena perubahan iklim yang dampaknya sangat luas. Menurut Yoshino (1991) dampak perubahan iklim di sektor pertanian menunjukkan variasi antarnegara di kawasan Asia Tenggara.

Secara umum dampak perubahan iklim antara lain:

  • Pengaruh terhadap kegiatan musiman. 
  • Pengaruh hubungan antara fluktuasi hujan dengan produktivitas padi
  • Hubungan antara curah hujan dengan setiap tanaman akan berdampak berbeda.
  • Meningkatnya suhu permukaan air laut akibat pemanasan global yang diperkirakan 10 cm dalam 100 tahun terakhir ini sangat serius dampaknya pada wilayah delta dan dataran rendah di pantai
  • Budidaya pada dan produksi garam laut akan terpengaruh serius. Perubahan iklim pada akhirnya akan memberikan pengaruh terhadap perubahan lingkungan.
Yoshino juga mengatakan asumsi yang digunakan dalam penelitiannya adalah perkiraan kenaikan suhu antara 1,2 hingga 3,0 derajat Celcius, kenaikan muka laut di tahun 2030 menjadi 5-17 cm akibat ekspansi kenaikan suhu permukaan laut dan mencairnya deposit es di kutub. Salah satu ancaman bencana di Indonesia yang terkait air atau meningkatnya frekuensi dan meluasnya kejadian bencana alam terutama yang berkait aspek hidrometeorologis adalah banjir.

Gejala perubahan iklim telah menimbulkan juga ancaman berupa berbagai gejala alam seperti ketidakpastian musim hujan dan kemarau, meningkatnya frekwensi hujan ekstrem. Di dunia ini hampir 90% bencana disebabkan oleh pengaruh iklim (WMO, 2008). Jadi risiko bencana banjir di Indonesia umumnya lebih disebabkan oleh penurunan kualitas DAS sehingga meningkat kerentanannya.

Ancaman bahaya banjir lebih disebabkan oleh kejadian hujan ekstrem (Extreem Climate Events). Kombinasi antara faktor alam dan manusia, telah memberikan nilai indeks risiko banjir. Jika hal ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat, dikhawatirkan akan mengancam tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) tahun 2030 dan Hyogo Framework for Action tahun 2005-2015 untuk Program Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction).

Kekurangan air dan memburuknya kualitas lingkungan diikuti dengan meningkatnya frekuensi dan meluasnya bencana banjir, akan terjadi jika pengelolaan lingkungan DAS tidak berbasis pada ekosistem secara komprehensif, sehingga konflik kepentingan antarsektor, antara wilayah DAS hulu dan hilir akan semakin parah.

(Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan)