PortalHijau.Com - Masyarakat Adat dari Suku Walani, Mee dan Moni yang tinggal di sepanjang Sungai Degeuwo, Kabupaten Paniai, Papua, mak...
PortalHijau.Com - Masyarakat Adat dari Suku Walani, Mee
dan Moni yang tinggal di sepanjang Sungai Degeuwo, Kabupaten Paniai, Papua,
makin resah dalam beberapa tahun belakangan ini. Operasi tambang emas makin
menggila, tanah-tanah adat terampas. Tak hanya itu, kini air sungai keruh,
tercemar limbah pengolahan tambang. Kondisi tambah parah kala warga yang
menolak dan protes harus berhadapan dengan aparat keamanan yang ketat menjaga
tambang. Tambang terus beroperasi, penyebaran penyakit seperti HIV/AIDs tak
terhindarkan.
Thobias Bagubau, Ketua Lembaga
Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni kepada Mongabay, mengatakan, warga tak mengetahui jelas bentuk
perizinan tambang di sekitar itu. Yang jelas, banyak beroperasi tambang emas
dan meresahkan warga. Sebab, tanah-tanah ulayat terampas hingga menimbulkan
banyak korban.
Tambang emas di daerah itu berawal 2001.
Kala itu, orang-orang luar mulai masuk dan menambang secara tradisional. Baru,
pada 2003, perusahaan masuk, dengan alat-alat berat yang mulai merusak hutan.
Kini, setidaknya ada 26 pertambangan, antara lain PT Madinah Qurrata’ain,
bekerja sama dengan PT West Wist Mining, asal Australia dan PT Martha Mining.
Perampasan tanah masyarakat adat, penghancuran rumah, kebun, bukit dan
tempat–tempat keramat masyarakat, terjadi.
“Warga
yang melawan berhadapan dengan aparat. Di-back up TNI dan
Polri. Sampai terjadi Brimob menembak warga tewas di tempat,” katanya di
Jakarta, awal Juni 2014.
Bukan itu saja. Ketika warga penolak
tambang emas bertindak, dituding separatis ataupun Organisasi Papua Merdeka
(OPM). “Ini untuk tutupi masalah di sana, agar perusahaan aman dikawal aparat
keamanan.”
Pelanggaran HAM merajalela. Pada 16 Juli
2009, masyarakat menuntut hak ulayat di Taijaya kepada Ongge, pemilik salah
satu tambang emas. “Tuntutan warga tak direspon, malah terjadi penembakan pada
Sefanya Onoka oleh polisi.”
Tragedi warga terjadi lagi pada 15 Mei
2012 di lokasi 99. Terjadi perdebatan antara pemilik billiard dan warga yang
protes hingga menyebabkan satu orang tewas, Melianus Abaa Kegepe. “Dia mati
ditembak ditempat oleh Brimob. Empata orang lain, Lukas Kegepe, Yulianus
Kegepe, Amos Kegepe dan Sefianus Kegepe luka-luka.
Pasca penembakan itu, para istri protes
dengan memotong jari mereka. Masalah lain, katanya, penyebaran penyakit sosial
terjadi dari mabuk-mabukan karena minuman keras marak hingga lokalisasi.
Penularan HIV/AIDs menggila, sudah ditemukan sekitar 250 kasus, sekitar 10
orang meninggal dunia. Di sekitar tambang, ada 20 kamp berupa rumah-rumah yang
ditinggali para pengusaha. Ada karoke sampai billiard.
Tambah lagi, hutan makin terkikis hingga
menyebabkan longsor beberapa kali. Air Sungai Degeuwo pun kini keruh terkena
limbah pengolahan emas.
“Ini merampas kekayaan alam yang luar biasa
oleh para pengusaha. Warga susah, miskin di atas kekayaan sendiri. Warga malah
terampas hak, terancam penyakit menular, sungai tercemar dan terkena longsor.”
Lembaga tiga suku ini baru terbentuk.
Sejak 2013, Bagubau mendampingi warga adat menhadapi gempuran tambang. Berbagai
upaya sudah dilakukan, dari audensi ke berbagai lembaga pemerintah, DRPD hingga
Kepolisian. “Dari Kapolda, DPRP Papua, Dinas Pertambangan Papua, Komnas HAM
perwakilan Papua, dan lain-lain turun ke lapangan. Namun, hingga hari ini tak
ada solusi apa-apa. Tempat hidup warga terus terampas,” katanya.
Bagubau bersama beberapa rekan ke
Jakarta, didampingi Padma, dan Walhi Nasional melaporkan masalah ini ke Komnas
HAM.
Mereka juga menyuarakan beberapa
tuntutan. Pertama, Presiden didesak
menyelamatkan masa depan masyarakata adat Suku Walani, Mee dan Moni dari
perampasan hak oleh perusahaan tambang di Degeuwo. Kedua, mendesak Komnas HAM mengusut pelanggaran HAM di
sana. Ketiga, mendesak Gubernur Papua segera menyelesaikan
persoalan di sepanjang Sungai Degeuwo.
Keempat,
mendesak Bupati Paniai mencabut semua izin perusahaan-perusahaan tambang yang
dikeluarkan bupati sebelumnya, dan menghentikan tambang sepanjang Sungai
Degeuwo.
Jowel Ematapa, kepala sub bagian Program
Dinas Pertambangan Kabupaten Paniai mengatakan, saat ini dinas melakukan
pembenahan terhadap tambang-tambang yang beroperasi di sekitar Degeuwo.
Sebenarnya, Gubernur Papua, pada 2011
telah mengeluarkan surat keputusan penghentian tambang emas tak berizin di
Papua, lalu bupati lama pada 2009, mengeluarkan penghentian sementara tambang
di sepanjang Sungai Degeuwo. Namun, beragam aturan pemerintah tak digubris.
“Selama 10 tahun ini masyarakat pemilik hak ulayat memang menjadi korban.
Sekarang, kami upaya memperbaiki,” katanya.
Dia berharap, Bupati Paniai saat ini
mampu memperbaiki sistem, termasuk mencabut izin-izin tambang. Menurut dia,
bupati sudah membuat tim menangani masalah tambang di Degeuwo ini.
“Ada kesulitan kalau mau masuk ke
kawasan tambang. Bupati juga harus ada surat resmi Kapolres. Kalau sudah ada
surat resmi baru bisa masuk.”
Mukri Friatna, Manajer Penanganan
Bencana Walhi Nasional mengatakan, perusahaan ilegal beroperasi dan merampas
kawasan- kawasan adat. “Beroperasi tak bawa manfaat. Kerusakan lingkungan,
penyakit dan konflik sosial,” katanya kepadaMongabay.
Untuk itu, dia meminta pemerintah
sekaligus KPK memeriksa pertambangan di Paniai ini. “Tutup seluruh tambang dan
tegakkan hukum.”
Mengenai aparat yang menjaga tambang,
dia meminta Kapolri bertindak. Brimob melakukan kekerasan sampai jatuh korban
jiwa. ”Pelanggaran HAM tak boleh berlarut. Tindak aparat keamanan yang
menembak warga,” katanya.
Dia mendesak, seluruh aset perusahaan
tambang disita dan mereka didenda serta wajib melakukan pemulihan kawasan.
Operasi tambang yang memberikan dampak
buruk pada lingkungan hidup dan sosial ini bisa dikatakan pembunuhan
etnis secara pelahan. “Bayangkan, sekarang banyak warga terkena penyakit
HIV/AIDs, belum lagi sumber air mereka tercemar bahan berbahaya. Ini pembunuhan
pelahan-lahan.” (Mongabay)