KUALA SIMPANG – Bupati dan Kadishutbun Aceh Tamiang dilaporkan ke polisi karena merekomendasikan pemanfaatan lahan seluas 8.961 hektare untu...

Menanggapi sikap LSM Lembahtari melaporkan ke polisi tentang penerbitan rekomendasi HTI seluas 8.961 hektare untuk PT RPI tersebut, Kadishutbun Aceh Tamiang, Syahri SP mengatakan itu merupakan hak seseorang. Namun, menurut Syahri, untuk memperoleh izin perusahan dibutuhkan proses panjang, selain harus menerjunkan tim teknis juga pelaksanaan Amdal. “Saya sudah ngomong dengan Badan Planologi di Jakarta kalau ada penolakan. Walaupun ada izin usaha, akan dikaji ulang,” tandas Syahri.
Menurut Syahri, berdasarkan UU 41 Tahun 1999 kawasan yang direkom itu masuk kawasan hutan produksi namun berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 ternyata masuk KEL. “Kabupaten sifatnya hanya memberikan rekom,” katanya.
Direktur LSM Lembahtari, Sayed Zainal M SH kepada Serambi, Minggu (24/10) mengatakan, hasil foto satelit yang dilakukan beberapa lembaga pemerhati lingkungan diketahui peta hasil telaah Dishutbun Aceh Tamiang menyangkut lahan seluas 8.961 hektare tersebut masuk KEL yang di dalamnya banyak terdapat tegakan dan bukan lahan kritis. “Inilah yang mendasari Lembahtari melaporkan Bupati Aceh Tamiang bersama Kadishutbun-nya ke polisi,” kata Sayed.
Melaporkan Bupati dan Kadishutbun Aceh Tamiang ke polisi, menurut Sayed Zainal sesuai dengan hak dan kewajiban serta peran masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, di mana dalam pasal 60 Bab III huruf D dan E diatur hak untuk mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Juga ada kepentingan yang lebih besar sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, di mana salah satunya menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagai kawasan fungsi lindung.
LSM Lembahtari menilai, Bupati dan Kadishutbun Aceh Tamiang juga mengangkangi Kepmenhut Nomor 190/Kpts-II/2001 tentang Pengesahan Batas KEL di Wilayah Aceh seluas 2.255.577 hektare, Kepmenhut Nomor 10193/Kpts-II/2002 tentang Pengesahan Batas KEL, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh di mana dalam Pasal 150 Ayat 1-2 mengenai tugas Pemerintahan Aceh melakukan pengelolaan KEL di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi dan pemanfaatan secara lestari dan dilarang mengeluarkan izin penguasaan hutan dalam KEL.
Lembahtari menemukan penyimpangan rekomendasi, di mana rekomendasi yang dikeluarkan Dishutbun Aceh Tamiang tidak melakukan penelaahan secara detail, karena kawasan yang diperuntukkan adalah hutan produksi (HP) di dalam KEL. Kawasan tersebut rata-rata 1.000 meter di atas permukaan laut dengan slove (kemiringan) di atas 30 derajat dengan curah hujan yang cukup tinggi, termasuk daerah tangkapan dan resapan air.
Rekomendasi Izin HTI Nomor 522/2369 Tanggal 7 Desember 2009 yang diterbitkan dan ditandatangani Bupati Aceh Tamiang Drs H Abdul Latief juga tidak melakukan penelaahan secara detail tetang keberadaan KEL di Aceh Tamiang, termasuk tidak mempertimbangkan risiko bencana banjir bandang serta kerusakan dan bencana ekologi yang bakal muncul akibat pemanasan global.
Berita acara pengecekan lapangan tertanggal 27 April 2010 yang ditandatangani staf Dishutbun Aceh Tamiang serta staf teknis bidang kehutanan BP2T Aceh, menurut LSM Lembahtari hanya mencantumkan enam titik koordinat di kawasan yang kritis dan hal itu tidak mewakili gambaran detail seluruh areal yang diusulkan untuk PT RPI seluas 8.961 hektare.
Atas dasar telaah dan pengecekkan lapangan tersebut, akhirnya Gubernur Aceh melalui surat Nomor 522.51/BP2T/4729/2010 tanggal 6 Juni 2010 dengan mudah menandatangani rekomendasi tetang persetujuan pencadangan areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK)–HTI dan hal ini bertentangan serta melanggar UU tata ruang nasional serta keberadaan ekosistem Leuser. “Ini menjadi ancaman serius, sebab wilayah Gunung Sangkapane, Gunung Tetek, dan Alur Bhampo menjadi gundul sehingga berpotensi banjir bandang lebih dahsyat dari tahun 2006,” demikian Sayed Zainal.(md)
Sumber : Serambi Indonesia, 25 Oktober 2010.